Di antara mahasiswa tersebut terdapat seorang pemuda bernama Soe Hok Gie. Seorang pemuda Indonesia keturunan Cina yang berperawakan kecil tapi bercita-cita besar. Ia adalah Mahasiswa di fakultas sastra Universitas Indonesia. Tentang kelahirannya, Soe Hok Gie tidak banyak menulis, hanya singkat saja ditulisnya:
“Saya dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942 ketika perang tengah berkecamuk di pasifik”
Soe Hok Gie merupakan seorang cendekiawan yang ulung yang terpikat pada ide, pemikiran dan terus menerus menggunakan akal pikirannya untuk mengembangkan dan menyajikan ide-ide yang menarik perhatiannya. Dalam pemikirannya, ia tak segan-segan mengkritik jalannya pemerintahan. Tulisan-tulisannya menggugah hati pembaca, menjadikan mereka menyokong sepenuhnya pandangan-pandangan yang ia kemukakan. Jarang ada pembaca yang tidak terpengaruh tulisan-tulisannya. kritik-kritknya dalam artikel-artikel di berbagai media massa yang kritis-tajam dapat meggetarkan hati setiap kalangan, baik yang berada dalam tampuk kekuasaan maupun yang menjadi korban perubahan politik. seperti kata-katanya:”saya tidak ingin menjadi pohon bambu, saya ingin menjadi pohon oak yang berani menentang angin”. Ia dikagumi berbagai lapisan masyarakat tetapi juga sekaligus dibenci mereka yang terkena kritik-kritiknya. bahkan, tak jarang orang yang terkena kritiknya merupakan orang terdekatnya. Seperti dikutip dari catatannya:
“Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa yang selalu benar dan murid bukan kerbau”.
Dalam pemikirannya, ia adalah golongan muda yang ditugaskan untuk memberantas golongan-golongan tua yang mengacau.seperti dikutip dalam catatannya:
“mereka generasi tua: Soekarno, Ali, Iskak, Li Kiat Teng, Eng Dje, semuanya pemimpin-pemimpin yang harus ditembak mati di lapangan banteng. Cuma pada kebenaran masih kita harapkan. Dan radio masih berteriak-teriak menyebarkan kebohongan. Kebenaran Cuma ada di langit dan dunia hanyalah palsu”.
Dalam usaha penggulingan rezim Soekarno, ia sangat berperan besar. Ia merupakan arsitek aksi “long march” mahasiswa tahun 1966. ia juga meruapakan tokoh dibalik kebangkitan angkatan 66. setelah rezim Soekarno terguling dan digantikan oleh rezim Soeharto, ia sangat berharap agar pemerintahan orde baru mengembangkan dan memperkuat keadilan sosial. Justru untuk memperkuat orde baru ia tidak segan-segan melancarkan kritikan pedas terhadap segala sesuatu yang menurut anggapannya tidak dapat dibenarkan dan tidak wajar.
Sebagai seorang manusia,dia juga mengalami suatu rasa, yaitu cinta. Sejak masih sangat muda ketika berumur 14 tahun dia sudah berfilsafat tentang cinta. Ketika menginjak usia 17 tahun dia hampir-hampir secara tandas mengambil kesimpulan , entah dari mana penalarannya, bahwa cinta itu tidak ada. Atau untuk lebih jelas cinta dalam perkawinan tidak ada, yang ada hanyalah nafsu kelamin belaka yang dibumbui cerita manis, karena itu indah. “cinta murni lebih baik masuk keranjang sampah”.
Kemudian ketika umurnya makin meningkat menjadi 19 tahun kesimpulan yang sama diberikannya pula dengan ketandasan baru dan kontan:”cinta = nafsu”, titik!.Namun ini hanya berlangsung sebentar saja, karena lama-lama dia sendiri juga menjadi sangsi.
“aku kira ada yang disebut cinta yang suci. Tapi itu cemar bila kawin. Aku pun telah pernah merasa jatuh simpati dengan orang-orang tertentu, dan aku yakin itu bukan nafsu”.
Sampai akhir hayatnya, dalam catatan hariannya disebutkan ada 3 nama perempuan yang senantiasa dikatakannya, hubungannya dengan mereka bukan hubungan biasa. Namun orang tua perempuan atau perempuan tersebut menolaknya. Dengan alasan agama lain, bangsa lain dan seterusnya. Semuanya selalu memberikan lampu merah.
”mereka orang-orang tikus ini, senang pada saya karena saya berani, jujur dan juga berkepribadian. But not more than that. Pada saat mereka sadar bahwa saya ingin menjadi in group mereka, mereka menolak”.
Namun apapun yang terjadi dia senantiasa bersiteguh untuk tetap menjadi dirinya sendiri. Kadang-kadang dia marah kepada dirinya sendiri mengapa dia harus mempedulikan semua ”manusia tikus” semacam ini. Karena itu pula dia menulis:
Manisku, aku akan jalan terus.
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan.
Bersama hidup yang begitu biru.
Dan juga ia menulis:
Mari sini sayangku.
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku.
Tegaklah ke langit luas atau alam yang mendung.
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak’kan pernah kehilangan apa-apa.
Selain sebagai seorang idealis, ia juga gemar mendaki gunung. Ia mengutip kata-kata seorang penyair bernama Walt Whitman:
“now i see the secret of the making of the best person
it is grow in the open air
and to eat and sleep with the earth”.
Ia berpikir bahwa naik gunung adalah cara untuk membentuk dirinya menjadi seorang yang terbaik. Dia bersama kawan-kawannya membentuk perkumpulan Mapala atau Mahasiswa Pecinta Alam ( Mapala UI Sekarang ).
“kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan-slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung”.Soe Hok Gie “Menaklukan Gunung Slamet”.kompas, 14 september 1967.
Dalam pemikirannya, disana seluruh bumi membuka diri, kaki langit tertancap teguh di seputar dirinya dan ia menatap kaki langit tanpa rintangan karena tidak ada yang lebih tinggi dari puncak. Disana ia merasa bersih dan ia membersihkan dirinya.
Soe Hok Gie seorang idealis, nasionalis dan seorang demonstran. Kritik-kritik yang dilontarkan oleh Soe Hok Gie dilancarkan atas pemikiran yang jujur dan itikad baik. Ia tidak selalu benar, tapi ia selalu jujur. Tetapi sayang sekali pemuda yang penuh cita-cita ini meninggal pada usia yang masih sangat muda. Yaitu pada usia 27 tahun. Ia meninggal sesuai dengan keinginannya, “bahagialah mereka yang mati muda”. Ia meninggal pada tanggal 16 Desember 1969 sehari sebelum hari ulang tahunnya. Ia meninggal di puncak Gunung Semeru akibat menghirup gas beracun dipangkuan sahabat karibnya sesama pecinta alam, Herman Lantang. Harian Kompas menyambut kematiannya dengan tulisan:
“dengan hati yang patah karena sedih kami menerima kabar tentang meninggalnya soe hok gie, ketika mendaki gunung semeru. Seorang pemuda yang luar biasa telah meninggalkan kita. Luar biasa dalam banyak hal. Cerdas, brilliant, jujur dan terbuka. Seorang idealist yang murni. Dengan perasaan keadilan yang tajam. Suatu manusia yang berjiwa bebas. Dan semuanya ini dihias dengan keberanian yang luar biasa pula”.kompas,22 Desember 1969.in memorian Soe Hok Gie.
Pada tanggal 22 Desember 1969 Soe Hok Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, Jakarta, diiringi isak tangis keluarga dan gadis-gadisnya yang tak pernah tergapai dalam hidupnya. 2 hari setelah ia dikuburkan dengan alasan jauh dari keluarga, kuburannya dibongkar dan dipindahkan ke pekuburan Kober. Tanah Abang. Namun jenazahnya belum aman. Pada tahun 1975, keluarlah keputusan gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, untuk membongkar pekuburan kober karena akan dibangun suatu bangunan. Maka jenazah soe hok gie yang berupa tulang berulang, harus diangkut lagi dari sana. akhirnya pihak keluarga memutuskan unuk mengkremasi jenazahnya. Diantara kawan-kawannya yang menghadiri upacara kremasinya, ada yang kebetulan ingat kata-kata Soe Hok Gie, bahwa kalau ia meninggal, sebaiknya mayatnya dikremasi dan abunya disebarkan ke gunung. Dengan pertimbangan itu, abu jenazahnya dibawa ke gunung dan disebarkan di Gunung Pangrango, Jawa Barat.
Measkipun begitu, dalam waktu singkat dari kehidupannya, banyak sekali yang telah dilakukannya bagi bangsa dan negaranya. Hingga saat ini, harapan Soe Hok Gie tentang pemerintahan Indonesia yang bersih dari korupsi dan kehidupan politik yang tidak berpihak pada golongan, ras atau agama belum terwujud.
1 komentar:
orang seperti ini yang dibutuhkan Indonesia
Posting Komentar